"Negara Islam" Ideal: Pilih Model Turki, Mesir atau Indonesia?
oleh Yun Sirno pada 26 Oktober 2012 pukul 19:44 ·
Wacana atau diskursus tentang negara islam tak henti-henti menjadi topik yang menarik baik bagi praktisi politik, akademisi, pengamat, dan tentu saja pemeluk islam yang peduli. Tentunya termasuk saya yang hobi membaca sejarah islam dan strateginya serta selalu mengkitu kondisi politik global. “Perang “ opini tentang perlu tidaknya negara islam itu memunculkan dua kubu. Di satu kubu mengatakan Nabi tak pernah menyuruh atau memformalkan Islam sebagai lembaga negara berhadapan terus dengan kubu yang mengatakan bahwa Nabi memang tidak pernah mengucapkannya, tapi ia mempraktekkannya!
Diskursus yang kemudian sering berkembang menjadi polemik itu kemudian seperti menyedot energi besar umat Islam terutama kaum pemikirnya. Hal ini sering dituding turut berperan membuat dunia Islam malah semakin terbelakang. Lihat lah saat diskursus itu terus berkembang, umat lain telah mencapai kemewahan dan kejayaan dunianya. Gak percaya?
Tidak Berpengaruh di Dunia
Dari segi ekonomi, memang umat Islam memiliki negara-negara kaya di Timur Tengah yang sering disebut sebagai negara petrodollar. Namun hampir tak ada negeri muslim yang kaya karena produktifitasnya alias layak disebut negara maju. Maka dari 50 negara kaya dunia non minyak, hampir tak ada negeri muslim disana.
Lihat pula di sisi ilmu pengetahuan, ilmuwan-ilmuwan muslim tidak berkontribusi besar lagi untuk kemajuan peradaban manusia sebagaimana zaman Ibnu Sina, dan Ibnu Khaldun cs. Ini bisa dilihat dari persentasi muslim peraih Nobel ilmu pengetahuan.
Lihat pula dalam dunia politik. Lihat contohnya di PBB. Hampir semua perwakilan umat ada dalam meja Dewan Keamanan PBB: AS – Inggris mewakili umat Protestan dunia, Prancis mewakili umat katolik, Rusia mewakili umat atheis (dulu komunisme), dan China mewakili umat Budha-Konghucu. Umat Islam tak kebagian tiket 5 negara paling berkuasa di dunia. Maka wajar keputusan-keputusan politis dunia sering mengabaikan suara dan kondisi umat Islam.
Memang Dewan Keamanan yang dibentuk paska Perang Dunia 2 ini sempat dan sering dianggap tidak adil, tapi mereka tidak bergeming. Maka kemudian muncul berbagai kompromi seperti agenda menambah jumlah. Tragisnya, kala usul penambahan itu diajukan, yang muncul adalah nama –nama negara India, Jepang, Jerman, dan Brazil. Lucunya masing-masing juga mewakili umat di belakangnya, seperti India (secara tidak langsung mewakili umat Hindu), Jepang mewakili kaum Shinto, Brazil (katolik) dan Jerman (protestan). Negara muslim tak pernah disebut.
Negara-negara diatas memang tidak dipilih secara primordial. Tapi benar-benar dipilih karena pengaruhnya dalam hubungan internasional. Karena pelaku politik manapun tidak akan menampik pengaruh 5 negara yang disebut diawal, dan 4 negara tambahan tersebut. Artinya? Tak ada satupun negara muslim yang berkatagori berpengaruh di atas muka bumi ini. Sungguh ironis! Padahal ada 52 negara yang mayoritas penduduknya muslim diantara sekitar 200 jumlah negara di dunia. Jumlah kita ¼, tapi kita sangat tidak dianggap. Mengapa?
Masalah Internal
Masalah internal umat islam yang seperti tidak terpecahkan dituding menjadi salah satu faktor penyebabnya. Apa yang harus kita lakukan?
Di tengah diskursus yang berubah menjadi polemik umat Islam diatas, kemudian muncul model-model altrenatif yang berusaha keluar dari pusaran. Mereka tidak mendukung kedua pihak tersebut. Turki memulainya dengan inovasi Partai Refah yang kemudian berubah menjadi Partai Keadilan dan Pembangunan (PKP). 4 kali pemilu berhasil dimenangkan partai tersebut, partai yang tidak mau menyebut dirinya partai islam, namun para pemerhati politik dan orang-orang yang bergaul dengan mereka akan sangat jelas melihat bahwa mereka adalah partai yang diisi para ustadz dan dai kelas satu. Langkah mereka adalah “melupakan” simbol islam tapi segera berbuat dengan program-program islami universal. Maka dalam hitungan 1 dekade saja, mimpi Bapak Sekuler Turki, Kemal Attaturk terkubur dalam-dalam. Jilbab yang puluhan tahun jadi barang haram di negeri dua benua tersebut, tiba-tiba masuk istana karena Presiden dan PM pilihan rakyat memiliki istri yang berjilbab. Pejuang Islam Turki memainkan politik smart yang mengutamakan kesejahteraan rakyat dan harga diri bangsa. Kini Turki telah “mendeklarasikan” negara islamnya tanpa harus menjadi negara islam. Dan secara strategi politik, langkah mereka membuat mati kutu negara-negara Barat yang tak pernah rela kaum dai mengambil tahta suatu negara.
Prestasi cemerlang para dai Turki yang mengelola negara menghantarkan mereka menjadi kekuatan ekonomi terbesar ke-7 di daratan Eropa, sementara tetangganya Yunani terengah-engah menahan kebangkutannya.
Kegemilangan Turki tentu menjadi pesona negara-negara muslim lainnya. Mereka yang “sudah capek” dengan polemik berkepanjangan diatas menjadi sadar bahwa jangan asal banyak omong, tapi bergeraklah, karena kita sebenarnya bisa.
Negeri Para Mullah
Sebelum Turki sebenarnya kegemilangan negara Islam sudah dilakukan negeri para mullah, Iran. Tanpa banyak berdebat mereka membangun republik islam setelah menggulingkan antek Amerika yang menjabat presiden negeri Persia tersebut, Shah Reza Pahlevi yang kemudian terkenal dengan nama Revolusi Islam Iran. Revolusi yang kemudian berefek dengan diterapkannya hukum islam, plus manajemen negara yang sangat islami. Hasilnya sudah kelihatan sejak beberapa dekade yang lalu. Ketika banyak negeri islam menggantungkan nasibnya pada Barat, Iran tampil sebagai negara yang mandiri dan sejahtera. Terbukti kemudian mereka menjadi salah satu negara yang tidak memiliki hutang luar negeri dan negara yang cukup disegani.
Sayangnya “prestasi” mengkilap Iran tersebut tidak cukup menjadi inspirasi bagi negri muslim lainnya, salah satu penyebabnya adalah kemandirian dan kemajuan Iran ternyata diikuti dengan pengucilan dan ketakutan Barat atas mereka, termasuk islam-nya. Bagi sebagain praktisi politik islam, ini tidak menjadi contoh yang baik bagi kredo islam sebagai rahmatal lil alamin. Apalagi sekarang Iran tersandung kasus tuduhan nuklir. Walaupun penuh konspirasi, jelas meniru Iran butuh determinasi tingkat tinggi. Apalagi “ketangguhan” Iran bertahan juga di-back up kekayaan modal alam mereka terutama minyak bumi. Nah yang ini sulit dicontoh, karena itu given.
Musim Semi Arab
Maka musim semi dunia Arab 2011 (Arab Spring) yang ditandai dengan jatuhnya para diktator Arab di berbagai negeri, mengantarkan mereka mencari model pengelolaan negara muslim yang ideal: modern tapi tetap memegang nilai islam. Maka jangan heran sang perdana menteri Racip Tayyip Erdogan segera menjadi bintang dunia. Ia pun sempat dinobatkan menjadi Man of the Year.
Mengambil inspirasi dari Turki walaupun tidak secara mentah-mentah, dilakukan Mesir. Ini setelah Husni Mubarak, tokoh kuat penopang kekuatan Amerika di TImur Tengah itu akhirnya tumbah oleh gelombang dahsyat demonstrasi tak putus-putus para pemuda Mesir selama kurang lebih dua bulan di Tahrir Square yang legendaris. Gerakan Ikhwanul Muslimin (IM) kemudian dinilai menjadi inti utama “pemberontakan” rakyat tersebut. Ketidakmauan Ikhwanul Muslimin untuk mengakui bahwa merekalah dalang aksi rakyat tersebut dinilai hanyalah strategi untuk tidak memecah belah persatuan rakyat Mesir yang anti Mubarak. Terbukti kemudian, pemilu paling demokratis dalam sejarah Negari Para Fir’aun tersebut mengantarkan kader-kader gerakan IM mendominasi kursi parlemen. Tak cukup, mereka juga merebut kursi Mesir-1 alias presiden. Maka misi mereka menerapkan eksperimen inovasi pemerintahan islam yang baru pun mulai diterapkan. Mesir mencoba mengambil strategi ekonomi Turki dan pendekaran politik yang bebas tapi tidak terdikte. Status bertahun-tahun sebagai kawan dekat Amerika plus Israel coba diubah Mesir menjadi kartu truf. Sampai sejauh ini langkah Mesir cukup berhasil. Mesir tampil sebagai negara yang disegani namun tidak dikucilkan seperti Iran.
Di sisi lain, dengan keberaniannya, mereka tak segan-segan menyajikan solusi islam pada berbagai sendi kehidupan. Apalagi masyarakat Mesir sangat islami plus kehadiran ribuan ulama dalam institusi Universitas Al Azhar yang cukup mewarnai karakter politik Mesir.
Jika Revolusi Islam Iran disebut-sebut sebagai pemercik api keberanian umat untuk bangkit. JIka revolusi ekonomi Turki sukses membuktikan islam yang applicable dan compatible dengan dunia modern. Maka keberanian berbagai tindakan politik Mesir yang berhadapan-hadapan dengan gembong permasalahan umat, Israel dianggap menjadi peluit segera hadirnya mimpi umat islam : khilafah.
Lalu bagaimana dengan Indonesia?
Negeri indah di tenggara Asia ini sempat dan juga seringkali disebut-sebut sebagai bakal pusat kebangkitan islam. Ini dimulai dengan sejarah masuknya islam ke negeri ini dengan tanpa peperangan, tapi lewat perdagangan, plus tipikal bangsa melayu yang begitu akomodatif dan gaul, membuat negeri ini dikenal sebagai bangsa yang ramah. Saat wacana islam radikal, fundamentalis dan sebagainya bertiup dari Timur Tengah, bangsa Indonesia seperti menjadi islam yang berbeda. Apalagi masuknya unsur islam di akhir kepemimpinan Soeharto yang terkenal sebagai orang terkuat Asia di tahun 1990-an, membuat pemerintahan menjadi hijau royo-royo (warna simbolis islam). Bukan sekedar politis, saat itu lah pemerintahan mengadopsi nilai-nilai islam seperti disahkannya berbagai UU yang pro-islam, sampai pendirian bank-bank syariah yang begitu menjamur, pencanangan remaja mesjid dan pesantren Ramadhan di era Soeharto menjadikan islam Indonesia sebagai percontohan bahwa perjuangan menerapkan nilai-nilai islam tidak mesti selalu berhadap-hadapan dengan penguasa.
Ini kembali ditunjukan bangsa Indonesia dengan pemilu demokratis yang sukses paska tumbangnya Soeharto, lahirnya partai-partai islam, plus munculnya varian partai nasionalis religious. Islam tampil begitu ringan dan renyah di tangan bangsa Indonesia. Banyak partai (nasionalis) bahkan memperjuangkan program yang sama dengan partai islam. Seperti perda-perda syariat yang bermunculan di daerah ternyata tidak dibawa oleh partai islam, tapi partai nasionalis.
Bermunculannya perda-perda syariah dan digenapkan dengan disahkannya UU Syariat Islam (Qanun) di Propinsi Aceh menunjukkan pada dunia bahwa proposal penegakan syariah bisa diajukan secara damai dan cerdas.
Secara ekonomi pun, Indonesia menjadi harapan dunia islam. Efek kebangkitan ekonomi Asia Timur dan pergaulan dengan komunitas China yang pro-ekonomi turut mengantarkan negeri ini menjadi the rising star dalam perekonomian dunia selain Turki tadi. Ini ditunjukkan dengan masuknya duet negeri islam ini dalam kwartet kekuatan baru ekonomi masa depan: MIST (Mexico, Indonesia, South Africa, & Turkey), serta G-20, yaitu 20 negara berpengaruh secara ekonomi (hanya ada 3 negeri muslim disini: Indonesia, Turki dan Arab Saudi).
Tapi silih berganti masalah internal bangsa membuat bangsa ini seperti lupa untuk mengejar prestasinya. Ini turut memadamkan asa dunia dan aktifis muslim bahwa Indonesia-lah pemicu kebangkitan islam itu. Entah apakah ini konspirasi jahat musuh-musuh islam atau memang cobaan bagi kita agar benar-benar bangsa Indonesia menjadi bangsa yang tangguh.
Nah menurut Anda darimana bakal kebangkitan Islam itu muncul dan negara mana yang layak jadi prototype negara muslim modern yang diterima dunia sekaligus bisa menerapkan pesan-pesan Ilahi? @ Yunsirno, pendamba Kebangkitan Umat
Tidak ada komentar:
Posting Komentar